vascript'/>
"..Amazing Grace..": Kut'rima Janji Allah dari Kaum Yehuda

Selasa, Juli 03, 2018

Dianggap "Durhaka", MK "Amputasi" DPR

Mengawali masa bhakti di tahun 2018, DPR memproduksi sebuah produk hukum yang sebagian isinya menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Produk hukum dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau yang kerap disebut UU MD3.

Menjadi kontroversri dan panen kiritikan pedas dari para ahli, pengamat dan masyarakat karena beberapa pasal UU MD3 ini dianggap sebagai upaya DPR untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga "superbodi" yang makin perkasa, anti kritik, tidak tersentuh bahkan disebut sebagian kalangan sebagai "durhaka". Mengapa disebut "durhaka" karena dinggap membuka jalan DPR untuk bisa mendjolimi "tuannya" yaitu rakyat. DPRD sendiri adalah wakil/utusan rakyat, tetapi dirancang sebagai lembaga yang tidak boleh dikritisi oleh rakyat sendiri.

BACA JUGA:Pencarian Korban Sinar Bangun dihentikan, Alasan Basarnas Logis

3 (tiga) pasal penting yang dianggap banyak kalangan sebagai krusial adalah Pasal 73 terkait dengan wewenang DPR memanggil paksa menggunakan POLRI terhadap seseorang/lembaga yang sedang diperiksa DPR. Kemudian Pasal 122 terkait dengan pemidanaan orang perorangan oleh DPR melalui MKD bagi orang perorangan yang melakukan penghinaan terhadap parlemen dan selanjutnya Pasal 245 terkait pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana.

Sekaiatan dengan itu, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi cs melayangkan gugatan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi. Hasilnya: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari gugatan tersebut.

Terkait pasal yang dinggap "nafsu" DPR untuk memanggil paksa, MK memberi pandangan bahwa panggilan paksa dan sandera adalah ranahnya hukum pidana, sedangkan proses rapat di DPR bukan bagian dari hukum pidana.

Terkait dengan kewenangan memidanakan pihak yang merendahkan DPR melalui MKD, MK memberi pertimbangan bahwa MKD bukanlah alat kelengkapan DPR yang dapat dijadikan sebagai tameng untuk mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai telah merendahkan martabat DPR atau anggota DPR.

Terakhir tentang upaya DPR "melindungi" diri dari jeratan hukum, MK menyebutkan bahwa seseorang anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana dapat diperiksa tanpa harus ada ijin/pertimbangan dari MKD, melainkan cukup ijin dari Presiden. Pertimbangan yang dibeberkan oleh MK adalah bahwa tidak tepat MKD memberikan pertimbangan bagi seseorang anggota DPR yang tersangkut hukum karena MKD adalah lembaga etik yang dibentuk oleh DPR dan anggota MKD sendiri adalah anggota DPR sehingga bisa memunculkan konflik kepentingan.

Putusan MK ini tentu sangat melegakan. Sebagaimana amanat konstitusi, bahwa putusan MK adalah bersifat final dan mengikat maka wajib dipatuhi dan dilaksanakan serta tidak boleh ada upaya hukum lain yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk membatalkan putusan ini.

Terima kasih MK,sang pengawal Konstitusi Indonesia.

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)