vascript'/>
"..Amazing Grace..": Kut'rima Janji Allah dari Kaum Yehuda

Senin, September 10, 2018

Dispensasi, buntut dari Kardus?

Dispensasi. Sebuah istilah baru dalam dunia politik yang membumbui persiapan pesta demokrasi Pemilu 2019 mendatang. Partai Demokrat lah yang memunculkan istilah ini dalam 2 (dua) hari terakhir.


Kepala Devisi Hukum dan Advokasi DPP Partai Demokrat sebagaimana disebutkan dalam portal berita kompas mengatakan bahwa Demokrat memberikan “dispensasi” kepada para kadernya yang berbeda pilihan dalam Pilpres 17 April 2019 mendatang. Tidak disebutkan secara rinci dan jelas bentuk dispensasi apa yang akan didapat kader “pembangkang” dimaksud. Apakah berupa lolos dari sanski/teguran atau hanya akan mendapat teguran ringan, kita belum tahu. Hanya saja secara umum istilah dispensasi kita pahami sebagai pegecualian dari yang lain.

Kita tentu tahu bahwa biasanya kader yang nekat berbeda pilihan dari pimpinan pusat partai akan selalu mendapat sanksi baik ringan, sedang maupun berat. Apalagi kader “pembangkang” dimaksud menyatakan secara terang-terangan di media terkait perbedaan pilihan politik dimaksud. Yang demikian biasanya kena “gebuk” alias sanksi berat berupa pemecatan. Begitulah yang biasanya terjadi dalam partai politik di Indonesia.


Memang, sikap demokrat yang tidak tegas terhadap kadernya yang berbeda pilihan dengan keputusan DPP sudah terlihat pada banyak kasus sebelumnya. Pertama berkaitan dengan Gubernur NTD Tuan Guru Bajang yang nyata-nyata mendukung Jokowi sebagai presiden pada periode berikutnya, kita sama sekali tidak melihat adanya reaksi serius dari DPP Demokrat. Memang belakangan TGB menyatakan mundur dari Demokrat.

Berikutnya Gubernur Papua Lukas Enembe yang adalah Ketua DPD Demokrat lebih “ekstrem” lagi karena terang-terangan dan kerap mengumbar dukungan tegas kepada Jokowi. Lagi-lagi kita tidak melihat adanya terguran atau sanksi dari SBY. Belum lagi dengan pernyataan-pernyataan Ketua DPD Demokrat Jawa Timur Soekarwo yang terkesan lebih memilih Jokowi disbanding bakal calon lain. Ada banyak kejadian yang mirip.

Lantas apa sebab DPP Demokrat bersikap begitu kepada kadernya yang bersebarangan sikap? Pikiran segera saja kembali mundur sejenak ke masa beberapa bulan yang lalu. Drama Jenderal Kardus. Kala itu, kabar perpolitikan Indonesia heboh dengan adanya pernyataan wakil sekjend Demokrat bahwa Prabowo adalah seorang jenderal kardus. Lebih lanjut disebutkan bahwa pilihan Prabowo yang akhirnya menggandeng Sandiaga Uno sebaga bakal calon capres disebabkan oleh adanya aliran dana 500 miliar.

Dugaanya uang yang kemudian disebutkan sebagai “kardus” itu sebagai “penawar” kepada partai-partai koalisi Gerindra yang masing-masing ngotot menawarkan kadernya sebagai pendamping Prabowo. Pada saat yang sama Demokrat diduga kuat menawarkan AHY untuk meramaikan bursa bakal calon pendamping sang Jenderal. Pada akhir “drama”, Prabowo memutuskan Sandiaga sebagai pendamping, dan segera saja “meriam” Demokrat muntah dengan nyaring: Prabowo Jenderal Kardus.

Sejak itu kita melihat Demokrat seperti setengah hati menunjukkan sikap dan dukungan kepada Prabowo. Bermunculan pula lah statemen dari beberapa kader Demokrat di daerah yang menyatakan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf Amin. Sebagaimana disebutkan di atas, akhirnya DPP Demokrat membuat sebuah “kebijakan”, bahwa para kader yang berbeda pilihan itu diberi Dispensasi.

Apakah buntut panjang dari kasus “Kardus”? Kemungkinan begitu. Namun seiring waktu, mungkin kita akan melihat fakta yang lebih terang.

Salam demokrasi
#AG

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)