Dispensasi. Sebuah istilah baru dalam
dunia politik yang membumbui persiapan pesta demokrasi Pemilu 2019 mendatang.
Partai Demokrat lah yang memunculkan istilah ini dalam 2 (dua) hari terakhir.
Kepala Devisi Hukum dan Advokasi DPP
Partai Demokrat sebagaimana disebutkan dalam portal berita kompas mengatakan
bahwa Demokrat memberikan “dispensasi” kepada para kadernya yang berbeda
pilihan dalam Pilpres 17 April 2019 mendatang. Tidak disebutkan secara rinci
dan jelas bentuk dispensasi apa yang akan didapat kader “pembangkang” dimaksud.
Apakah berupa lolos dari sanski/teguran atau hanya akan mendapat teguran
ringan, kita belum tahu. Hanya saja secara umum istilah dispensasi kita pahami
sebagai pegecualian dari yang lain.
Kita tentu tahu bahwa biasanya kader
yang nekat berbeda pilihan dari pimpinan pusat partai akan selalu mendapat
sanksi baik ringan, sedang maupun berat. Apalagi kader “pembangkang” dimaksud
menyatakan secara terang-terangan di media terkait perbedaan pilihan politik
dimaksud. Yang demikian biasanya kena “gebuk” alias sanksi berat berupa
pemecatan. Begitulah yang biasanya terjadi dalam partai politik di Indonesia.
BACA JUGA:Demokrat "bermain dua kaki"?
Memang, sikap demokrat yang tidak
tegas terhadap kadernya yang berbeda pilihan dengan keputusan DPP sudah
terlihat pada banyak kasus sebelumnya. Pertama berkaitan dengan Gubernur NTD
Tuan Guru Bajang yang nyata-nyata mendukung Jokowi sebagai presiden pada
periode berikutnya, kita sama sekali tidak melihat adanya reaksi serius dari
DPP Demokrat. Memang belakangan TGB menyatakan mundur dari Demokrat.
Berikutnya Gubernur Papua Lukas Enembe
yang adalah Ketua DPD Demokrat lebih “ekstrem” lagi karena terang-terangan dan
kerap mengumbar dukungan tegas kepada Jokowi. Lagi-lagi kita tidak melihat
adanya terguran atau sanksi dari SBY. Belum lagi dengan pernyataan-pernyataan
Ketua DPD Demokrat Jawa Timur Soekarwo yang terkesan lebih memilih Jokowi disbanding
bakal calon lain. Ada banyak kejadian yang mirip.
Lantas apa sebab DPP Demokrat bersikap
begitu kepada kadernya yang bersebarangan sikap? Pikiran segera saja kembali
mundur sejenak ke masa beberapa bulan yang lalu. Drama Jenderal Kardus. Kala
itu, kabar perpolitikan Indonesia heboh dengan adanya pernyataan wakil sekjend
Demokrat bahwa Prabowo adalah seorang jenderal kardus. Lebih lanjut disebutkan
bahwa pilihan Prabowo yang akhirnya menggandeng Sandiaga Uno sebaga bakal calon
capres disebabkan oleh adanya aliran dana 500 miliar.
Dugaanya uang yang kemudian disebutkan sebagai “kardus”
itu sebagai “penawar” kepada partai-partai koalisi Gerindra yang masing-masing
ngotot menawarkan kadernya sebagai pendamping Prabowo. Pada saat yang sama
Demokrat diduga kuat menawarkan AHY untuk meramaikan bursa bakal calon
pendamping sang Jenderal. Pada akhir “drama”, Prabowo memutuskan Sandiaga
sebagai pendamping, dan segera saja “meriam” Demokrat muntah dengan nyaring:
Prabowo Jenderal Kardus.
Sejak itu kita melihat Demokrat
seperti setengah hati menunjukkan sikap dan dukungan kepada Prabowo.
Bermunculan pula lah statemen dari beberapa kader Demokrat di daerah yang
menyatakan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf Amin. Sebagaimana disebutkan di atas,
akhirnya DPP Demokrat membuat sebuah “kebijakan”, bahwa para kader yang berbeda
pilihan itu diberi Dispensasi.
Apakah buntut panjang dari kasus “Kardus”?
Kemungkinan begitu. Namun seiring waktu, mungkin kita akan melihat fakta yang
lebih terang.
Salam demokrasi
#AG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)