sumber: https://manado.tribunnews.com/ |
Pemirsa, seperti kita ketahui bersama bahwa "teror" Covid-19 atau yang kerap juga disebut corona telah merenggut nyawa ratusan ribu orang di dunia, sedangkan di Indonesia sudah mendekat angka 1.000 (seribu) orang. Diantara yang meninggal terdapat juga dari kalangan suku Batak khususnya Batak Toba. Dan kita ketahui pula, sesuai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, bahwa mengigat bahaya corona yang terus mengintai kita, diharapkan masyarakat tidak menggelar acara apa pun (kecuali terpaksa nan darurat) yang melibatkan banyak orang berdekatan, termasuk ketika kemalangan/duka.
Imbasnya, bukan saja pemakaman orang meninggal yang positif corona, terhadap orang meninggal yang bukan disebabkan corona pun berlaku: tidak boleh berlama-lama dan tidak boleh melibatkan banyak orang berdekatan.
Hala ini menyebabkan, mau tidak mau (harus mau), bahwa acara dan adat-adat Batak dalam kemalangan/duka/ maupuan sukacita/pesta terpaksa dipangkas bahkan banyak "ditiadakan". Betapa dahsyatnya si corona, dia memaksa kita untuk meninggalkan (mungkin sementara) acara adat Batak atau setidak-tidaknya memangkasnya.
Lepas dari duka mendalam dan kesedihan yang harus kita alami (khususnya ketika ada keluarga yang meninggal), sesungguhnya menarik juga untuk kita renungkan. Saya sebut dulu sebuah kesimpulan mentah: bahwa si corona telah mematahkan "ketergantungan" kita kepada acara adat kita yang selama ini seolah-olah tidak bisa dipisahkan dari kita.
Lalu kemudian, ketika dalam keadaan seperti ini, apakah menidakan sementara acara adat Batak, kita telah kehilangan sesuatu yang berharga? Tentu yang paling tepat menjawab adalah mereka yang mengalami pada masa-masa ini, baik adanya kematian, pesta yang tertunda atau tidak lagi "utuh" seperti biasa.
Namun rasanya tidak berlebihan kalau saya menjawab: sepertinya tidak ada sesuatu yang mendasar dan prinsip yang hilang. (Sekali lagi saya tidak bicara soal perasaan, beban psikologi orang2 yang mengalami, tetapi hanya fokus soal acara adatnya). Malah saya kadang berpikir, mudah-mudahan bila kelak berlalu si corona ini, kita pun mulai berpikir panjang apakah acara-acara adat batak yang selama ini begitu penting dan menyita banyak ruang dan waktu dalam setiap acara-acara orang kita Batak, masih perlu dilanjutkan.
Pun, saya kira kita sama2 paham dan mengalami bahwa panjangnya acara2 kita selama ini otomatis "menggigit" banyak dana dan waktu kita. Begitu selesai acara, tak jarang kita "minus" bahkan harus ngutang sana-sini demi menutupi biaya yang harus kita keluarkan demi memenuhi "kewajiban" adat kita. Mending kalau untuk pesta dan acara sukacita lainnya, kalau karena kemalangan maka kita jadi seperti jatuh tertimpa tangga pula.
Saya adalah "awam" soal struktur dan esensi adat Batak dalam acara-acara kita. Sehingga saya hanya melihat dari sisi waktu dan dana yang harus kita penuhi demi "kewajiban" pelaksanaan adat Batakk kita. Pun, ketika pada masa-masa sulit ini si adat harus kita kesampingkan sementara, hal itu bukanlah aib, bukanlah sebuah kehilangan jati diri kita sebagai orang Batak.
Jadi kalau nanti kita coba pikirkan dan coba lakukan "menghemat" dan memangkas acara adat kita yang kita praktekkan selama ini, mengapa tidak?
Salam
#AG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)