vascript'/>
"..Amazing Grace..": Kut'rima Janji Allah dari Kaum Yehuda

Kamis, Januari 18, 2018

Ribut-ribut "Mahar" Politik, rakyat harus TOBAT duluan

Isu mahar politik kembali menghangat dalam dunia perpolitikan Indonesia. Sebab musababnya adalah "nyanyian" La Nyalla, sang bakal yang gagal jadi Cagub di Jawa Timur. Ketua Kadin Jatim ini mengaku dimintai dana puluh miliar oleh Prabowo agar mendapat rekomendasi dan dukungan dari Gerindra dalam pertarungan merebut Jatim-1.


Saking "seksi"nya kabar ini, Karny Ilyas pun mengangkatnya menjadi topik ILC pada selasa malam tanggal 16 Januari 2017. Seperti telah diduga, kalangan petugas partai akan menjawab diplomatis dan halus. Mahar itu itu ada, apalagi disebut memalak, tetapi politik jelas bukan tanpa biaya, bahkan diakui mahal.

Artinya jelas: Jadi calon kepala daerah butuh modal puluh miliar rupiah. Lebis luas untuk mendapat jabatan apa pun di negeri beta, "wajib" punya modal dana ditabah "deking". Itu rahasia umum.

Yang penting sekarang adalah bagaimana mengurai benang kusut, rundut nan rumit ini? 
Memang ada 2 (dua) suber persoalan utama.

Pertama perubahan dari sisi aturan. Persoalannya adalah sudah ratusan atau ribuan mungkin mulut yang berbusa menyerukan dengan nyaring agar aturan tentang Pemilu dan Pemilukada khususnya pencalonan dan persyaratannya dirubah, tetapi sampai saat ini kelihatannya mustahil. DPR dan Pemerintah seperti terbelenggu oleh kepentingan sehingga tak "berani" mengubah aturan yang berlaku.

Kedua adalah PERTOBATAN masyarakat yang selama ini membiasakan diri memilih seseorang setelah menerima sesuatau (umumnya uang) dari calon. Malah kabarnya akhir-akhir ini sudah mulai ekstrim. Selain motif mendapat uang, kekesalan serta apatisme masyarakat terhadap sistem politik dan personal calon dituntaskan dengan cara yang cukup kejam. Kabarnya calon pemilih tidak lagi hanya menerima uang dari calon pilihannya tetapi sudah bermain pada dua, tiga, empat atau lima kaki tergantung berapa orang yang datang menyodorkan "sesuatu".

Istilah kerennya: Siapa pun yang datang, ambil duitnya, jangan pilih orangnya. Waw...waw...waw... Buntung deh si calon, hehe

Fenomena baru ini tentu akan kian memperparah "kekuatan" uang membelenggu perpolitikan Indonesia. Kian hari akan kian terbelenggu?

Lalu masih mungkinkah kita berharap politik Indonesia yang bersih, jujur dan bermartabat?

TIDAK..TIDAK MUNGKIN, setidaknya saat ini dan sampai puluhan tahun mendatang, kecuali di alam mimpi.

Tapi ada satu langkah yang kita bisa lakukan dan bakal memberi dapak signifikan yaitu: TOBAT.

Kita berharap mulai saat ini, masyarakat sebagai pemilih berani menolak pemberian (umumnya uang) dari pihak manapun dalam kaitan dengan Pemilu atau Pilkada. Jangan jual HARGA DIRI dan integritas kita hanya karena uang seratusan ribu rupiah. Terlalu rendah martabat kita sebagai ciptaan mulia bila kita "gadaikan" hanya demi sedikit uang.

Dan harus kita yakini pula, mendapat uang bukan dengan jalur yang benar dan baik, belum tentu akan bermanfaat bagi bagi kita, jangan-jangan sebaliknya jadi sumber persoalan. Selain berurusan dengan pihak penegak hukum, "memakan" uang "haram bisa jadi sumber penyakit kepada kita, keluarga, isteri bahkan anak-anak kita. Mungkinkah Tuhan memberkahi kita lewat uang "haram". Jadi sekali lagi, jaga harkat dan martabat kita yang mulai. Tolak politik "uang".

Kalau dulu punya prinsip: siapa pun datang, ambil uangnya, jangan pilih orangnya sekarang prinsip kita: Siapapun datang tawarkan sesuatu/uang, tolak uangnya, ajak tobat orangnya, hehe.

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)