vascript'/>
"..Amazing Grace..": Kut'rima Janji Allah dari Kaum Yehuda

Kamis, Januari 04, 2018

Djarot cukup bagi saya

Sejak akhir tahun 2017 yang  lalu, isu bahwa Djarot Saiful Hidayat akan "bertarung" di Pilkada Sumut sudah mulai "berdering". Saya sebagai "penikmat" politik amatiran tentu turut terkejut. Bukan hanya itu, keraguan juga muncul dalam hati. Pertama, apakah Djarot dan PDIP serius? Dan kedua, apakah Djarot punya hitung-hitungan yang matang? Atau apakah PDIP akan "hattrik" blunder politik di Sumut?


Soalnya, dalam 2 "episode" terakhir, PDIP benar-benar blunder berujung keok di Pilkada Sumut. Yang terakhir (tahun 2013) lebih menyakitkan lagi, karena Bung Effendi Simbolon hanya kalah tipis dengan pasangan "ganteng", alias Gatot dan Tengku Erry.

Keduanya hampir sama sebab, PDIP selain "telat panas" juga kalah hitung-hitungan. Tahun 2008 ada Rudolf Pardede (incumbent) yang sempat digadang-gadang tetapi ditinggalkan ditengah jalan. Periode berikutnya sudah santer akan mengusung RE Nainggolan, tetapi batal.

Bagaimana dengan 2018? Benarkah PDIP akan mengusung Djarot?

Mengamati (lagi-lagi amatiran) konstelasi terkini, sepertinya PDIP memang serius menunjuk Djarot sebagai "panglima perang" untuk menghajar lawan-lawan politik di Sumut. Kehadiran Djarot di Sumut minggu lalu seperti menunjukkan bahwa PDIP memang sudah bulat "mengutus" Djarot. Ditambah lagi bahwa Djarot tidak sekedar liburan tetapi juga melakukan "blusukan" di beberapa tempat di Samosir. Selain itu Djarot turut serta pada salah satu agenda Pemkab Samosir beberapa hari lalu, baca disini.

Lalu bagaimana dengan peluang? Kalau dibaca dari rekam jejak popularitas, Djarot tentu masih kalah dengan calon lain semacam Tenggu Erry (incumbent) dan Letjend Edy yang telah lama "menebar pesona" di Sumut. Apalagi mungkin masih banyak warga pedalaman Sumut yang beum pernah dengar nama Djarot. Djarot mungkin hanya dikenal oleh kalangan warga kota dan yang melek media sosial.

Kalau dibaca dari rekam jejak Djarot di dunia pemerintahn, tentu dapat dilabeli hampir semurna. Beliau adalah mantan walikota Blitar, kemudian menjadi wakil Ahok di DKI dan terakhir sebagai gubernur setelah A Hok diseret ke pengadilan. Tidak diragukan, Djarot secara umum dinilai bersih dari KKN. Dalam hal ini, Djarot justru "menang" dibanding calon lain mana pun kecuali Jokowi dan A Hok, hehe.

Bagaimana dengan isu SARA? Saya sangat yakin, pengalaman "pahit" di DKI akan merambat ke Sumut. Untunglah Djarot bukan dari kalangan keyakinan "minoritas". Dan selanjutnya Darot sendiri berasal dari suku Jawa.

Bagaimana dengan kalangan Nasrani/Katholik di Sumut? Saran saya tidak perlu ngotot harus mengusung tokoh Nasrani/Katholik.

Memang, kita tidak perlu munafik. Isu agama masih sangat "seksi" di ranah politik. Kita masih condong memilih calon yang seagama, termasuk saya. Tapi demi kepentingan yang lebih besar, mari kita belajar lebih jernih dan berhitung matang.

Bagi saya yang Nasrani, Djarot sudah lebih dari cukup. Rekam jejak membuktikan bahwa Djarot berjiwa nasionalis, negarwan, cinta NKRI dan Pancasila serta bukan penganut paham yan agak "radikal". Buktinya dia sebagai muslim menerima dan loyal kepada A Hok yang adalah Kristiani.

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)