vascript'/>
"..Amazing Grace..": Kut'rima Janji Allah dari Kaum Yehuda

Minggu, September 24, 2017

Tentang Isu penyelundupan 5.000 senjata

Dalam tempo satu minggu ini, Panglima TNI Jend. Gatot Nurmatio menghembuskan 2 (dua) isu panas yang menjadi perbincangan dan perdebatan nasional. Pertama adalah perintah kepada jajaran TNI untuk melakukan Nonton Bareng Film G 30 S/PKI. Menjadi tanda tanya dan memicu perbincangan panas karena labelnya adalah PERINTAH, bukan anjuran. Tentu dalam TNI yang namanya perintah dan datangnya dari Panglima pula maka sifatnya WAJIB dilakukan.

Pak Gatot mengapa Ngotot? Masuk akal bila perintah ini menjadi perbincangan kita termasuk di dunia maya/media sosial. Pertama bahwa film ini telah dilarang penayangannya usai masa reformasi persisnya tahun 2002 oleh pemeritah tentunya. Lalu mengapa Gotot tiba-tiba memerintahkan nonton bareng? Apakah Gatot telah meminta persetujuan dari pemerintah? Nampaknya belum, sebab ternyata memunculkan pernyataan-pernyataan saling sindir antara Panglima TNI dengan Menteri Pertahanan. 

Kedua, para keturunan pihak-pihak yang tersudut pasca peristiwa tahun 1965 ini berhak angkat bicara terkait dengan akurasi film dan beberapa adegan yang menurut informasi ditayangkan berbeda dengan yang sesungguhnya. Ada tentang karakter dan kebiasaan pemeran/aktor/aktris ada juga tentang perbedaan lokasi kejadian. Tetapi yang lebih substansi adalah "peran" kepamahapahlawanan Soeharto.

Tentang "peranan" pak Harto, dan hubungannya dengan para jenderal yang jadi korban mungkin bisa kita sajikan di lain kesempatan.

Berita kedua "ciptaan" Panglima TNI yang jadi heboh dan panas dalam minggu ini adalah isu adanya pihak-pihak yang tidak berhak melakukan impor (pembelian) 5.000 senjata API, bahkan disebut sebagai penyelundupan. Bila pengucap beritanya adalah sekelas Panglima TNI, siapa yang tidak tanya dan bingung? Apa sesungguhnya yang terjadi.

Untunglah Menkopolhukam Jenderal Wiranto memberikan keterangan valid sehingga tidak terjadi simpang siur dan tidak menimbulkan perdebatan yang lebih panas yang bisa-bisa mengancam kesatuan negara kita. Inilah yang diluruskan oleh Menkopolhukan, pertama bahwa ternyata yang terjadi adalah pembelian 500 unik (bukan 5.000) senjata jenis pistol oleh Badan intelejen Negara (BIN) untuk dipergunakan bagi kebutuhan dan keperluan pendidikan intelejen. Kedua bahwa senjata dimaksud bukan standar TNI sehingga koordinasi dan perijinannya bukan dari TNI melainkan dari Polri, dan ternyata hal itu telah dilaksanakan.

Berikut keterangan dari Menkopolhukam tentang kedua isu di atas yang saya kutip dari detik.com

PENJELASAN MENKO POLHUKAM TENTANG ISU POLITIK TERKINI


Seperti kita ketahui setiap menjelang pemilu apakah Pemilu Kada atau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden suhu politik selalu memanas. Keadaan itu sudah berlaku sejak dahulu dan menjadi bagian dari pasang surutnya suhu politik dalam alam demokrasi. Pemerintah c.q. Kemenko Polhukam dan segenap jajarannya akan terus menjaga agar memanasnya suhu politik tersebut masih pada batas-batas kewajaran agar tidak menimbulkan instabilitas nasional yang tentu akan menganggu berbagai kepentingan nasional.



Menjelang bulan Oktober telah muncul berbagai isu yang cukup meresahkan masyarakat 
dan telah menjadi perdebatan publik dengan berbagai spekulasi yang menggiring 
terjadinya konflik horizontal yang perlu segera dihentikan agar tak mengganggu
kepentingan nasional.



Oleh sebab itu perlu penjelasan resmi dari Kemenko Polhukam berkenaan dengan 
beberapa isu miring yang telah tersebar di kalangan masyarakat baik lewat Media 
Mainstream maupun Media Sosial.



Pertama, mengenai pemutaran kembali Film Penghianatan G.30 S /PKI, dan ajakan untuk 
nonton bareng bagi beberapa institusi merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan. 
Peristiwa 30 September 1965 adalah peristiwa sejarah kelam bangsa Indonesia. Masih 
banyak peristiwa serupa yang dialami bangsa Indonesia seperti pemberontakan DI/TII, 
Pemberontakan PRRI/Permesta, peristiwa Malari di tahun 1974 yang semua itu adalah 
rangkaian fakta sejarah yang sudah berlalu. Kita tidak mungkin memutar kembali jarum jam dan mengubah fakta sejarah sekehendak kita. Sejarah tersebut merupakan perjalanan bangsa yang dapat dijadikan referensi bangsa untuk menatap ke masa depan. Menonton film sejarah memang perlu bagi generasi berikutnya untuk memahami sejarah kebangsaan Indonesia secara utuh. Kita tak perlu malu, marah atau kesal menonton film sejarah. 



Ajakan atau anjuran menonton tak perlu dipolemikkan apalagi sampai membuat bangsa ini bertengkar dan berselisih. Anjuran Presiden untuk mempelajari sejarah kebangsaan dengan menyesuaikan cara penyajian agar mudah dipahami oleh generasi Milenium, merupakan kebijakan yang rasional.



Kedua, informasi dari Panglima TNI tentang adanya institusi di luar TNI dan Polri yang akan membeli 5000 pucuk senjata standard TNI, tidak pada tempatnya dihubungkan dengan eskalasi kondisi keamanan, karena ternyata hanya adanya komunikasi antar institusi yang belum tuntas. 



Setelah dikonfirmasikan kepada Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN dan instansi terkait, terdapat pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PINDAD (bukan 
5000 pucuk dan bukan standar TNI) oleh BIN untuk keperluan pendidikan Intelijen. 
Pengadaan seperti ini ijinnya bukan dari Mabes TNI tetapi cukup dari Mabes Polri. Dengan demikian prosedur pengadaannya tidak secara spesifik memerlukan kebijakan Presiden. 



Berdasarkan penjelasan ini diharapkan tidak ada lagi polemik dan politisasi atas kedua isu 
tersebut.

Nah, oleh sebab itu dan berhubung karena dihubung-hubungkan, kita berharap lain kali agar Panglima TNI lebih arif dan bijaksana. Salam Jenderal..

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)