Keluarga
Saya berasal dari sebuah kampung kecil (sebetulnya tidak pantas disebut sebuah kampung) dan hidup disana bersama keluarga kurang lebih 15 (lima belas) tahun dan boleh dikata tanpa tetangga. Sebab tetangga terdekat kami berjarak kurang lebih 300 (tiga ratus) meter. Selama 15 tahun tentu saja rumah kami tidak diterangi oleh listrik (hingga kini, sebab kami sudah eksodus dari sana sepuluhn tahun lalu), dan saat ini saya tinggal di Nantindang Desa Pangaloan, Kecamatan Nainggola-Kabupaten Samosir dan saat ini berjarak 1,5 km dari Sanggar.
Kami akui, keluarga ini hidup dalam kemiskinan, bila tak berlebihan memberi label sebagai termiskin di desa Pangaloan. Ubi adalah makanan pokok, sedangkan nasi hanyalah sebagai dissert alias menu penutup, kecuali ada acara khusus macam pesta atau kunjungan keluarga jauh. Saya yakin, keadaan seperti sudah langka bagi keluarga lain di masa kami.
Lahan tani yang kami olah umumnya adalah milik orang lain alias sewa. Katakanlah bila panen padii, maka 1/3 dari hasil panen wajib diserahkan kepada pemilik lahan.
Sebagai anak keluarga miskin, tentu saja masa kanak-kanak yang begitu indah, ceria, bebas dan enak boleh dikata tak kami alami. Pergi sekolah dengan pakaian seragam yang koyak atau bocor, kadang kala tak punya alas kaki tan tentu saja kami tidak kenal apa yang disebut jajan anak sekolah. Oleh karena keadaan, maka kami pun tak kenal apa yang disebut waktu bermain anak, apalagi tidur siang sebagaimana anak di keluarga lain (karena harus keladang saban hari)
Semasa SLTA misalnya, bila pun bisa sesekali jajan hanya 3 penyebabnya. Pertama dari hasil penjualan tuak (karena anak laki2 di keluarga kami terbiasa mengusahakan aren/tuak), Kedua karena menyabet prestasi di sekolah sehingga dihadiahi uang seribu-an dan ketiga bila 17 Agustus tiba.
Selain itu, setiap hari kami berjalan kaki menempuh sekolah dengan jarak 5-6 km pulang dan perginya. Bila bisa naik angkutan 2-3 sebulan, itu sudah luar biasa.
Begitu secara ringkas kondisi keluarga dan situasi selama menempuh sekolah hingga tahun 2003 yang lalu tamat dari SLTA dan selanjutnya menuju Medan bung....
Masa Perjuangan di Perkuliahan
Malam itu cukup hening. Saya dan mama saya memotong/mengarit bawang merah hasil panen yang belum begitu kering. Tentunya agak pedih di mata. Agak lama kami tak membuka mulut meski dalam hati ada lalu lintas pikir yang amat padat. Saya pun sedikit takut sekaligus ragu, sedang mama dalam gundah berpikir keras mencari jejak solusi.
Lalu seketika mama membuka pembicaraan. "Asi ma roham, haduan ma ho kuliah. Jolo adong ma hepengta"
(Sebagai anak berprestasi di SLTA dengan nilai UN tertinggi di sekolah kala itu, tanpa konfirmasi kepala sekolah kami mendaftarkan saya sebagai salah satu calon mahasiswa jalur PMDK alias tanpa testing ke Politeknik Negeri Medan-USU, dan beberapa minggu kemudian dinyatakan lulus dengan surat resmi dari pihak kampus. Inilah yang saya tunjukkan kepada orang tua saya kala itu)
Saya pun tentu saja serba sulit memberi jawab. Apa hendak dikata, penghalang utama memang adalah ketiadaan dana. Saya pun sangat sadar memang tidaklah pantas menjadi anak kuliahan karena saya tahu betul kondisi keluarga. Saya adalah anak ke-3 sedang di bawah saya ada 4 orang lagi dan sedang sangat membutuhkan biaya sekolah kala itu.
Tapi saya sudah didaftarkan oleh kepala sekolah, ditambah saya sendiri pun menggebu untuk melanjut ke perkuliahan, maka saya pun mulai "perjudian". Membayangakan kabar-kabar manis dari anak rantau seperti cerita kuliah sambil kerja, saya bilang kepada mama "Apa pun ceritanya saya akan coba kuliah. Saya berjanji kuliah dengan biaya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari kampung. Bila pun harus putus di tengah jalan, yang penting saya sudah mencoba"
Singkat cerita, kedua orang tua pasrah dan dengan kesepakatan bahwa orang tua tidak bisa membantu apa pun selama perkuliahan.
Meski membuat perjanjian seperti itu, saya salut dan berterima kasih kepada kedua orang tua saya karena tetap mengusahakan meminjam uang dari seorang pendeta gereja kami sebagai bekal awal saya berangkat ke Medan. Saya ingat persis kala itu diberikan 1,5 juta yang adalah hasil pinjaman. Lalu dengan modal awal sebanyak itu saya berangkat ke Medan sekitar bulan July 2003 untuk selanjutnya menjadi warga Politeknik Negeri Medan.
Ini Medan Bung...
Beberapa bulan di Medan, kesulitan mulai terasa. Tentu saja kesulitan dana untuk keperluan sehari-hari, kampus dan pelayanan. Harus saya akui bahwa kala itu saya termasuk type orang yang tidak kreatif, kurang pergaulan ditambah sifat jaim (jaga image). Melihat keseharian saya baik di kampus dan di pelayanan gereja, orang tidak yakin kondisi saya se miskin yang sebenarnya.
Beragam kesulitan menempa, persoalan bergantian bagai musuh yang menyerang tiada henti. Semoga dikesempatan lain ada waktu untuk menuangkan kisah lengkap pengalaman saya selama di Medan. Saya hanya sebutkan poin-poinnya saja diantaranya:
- Sering meminjam (berhutang) uang kepada rekan mahasiswa/i, rekan sepelayanan bahkan hamba-hamba Tuhan di pelayanan. Bahkan saya akui, masih ada hutang saya kepada mantan teman kuliah sebanyak Rp. 300.000 pada tahun 2004. Entah dimana kawan itu kini, semoga kelak ketemu, hehe
- Beberapa kali jalan kaki dari Simalingkar A ke Politeknik Negeri Medan oleh karena tidak memiliki uang sama sekali. Waktu itu ongkos angkot sekali jalan hanya Rp. 1.000 (seribu rupiah). Jarak Simalingkar-Politeknik Negeri Medan tak kurang dari 7-8 km. Oh tragisnya, hehe
- Sering kali tidak makan dalam 1-2 dua hari oleh karena tidak memiliki uang.
- Pernah diusir dari tempat kost di sekitar Jl. Bahagia Padang Bulan oleh karena tidak mampu membayar uang kost dan uang makan sebulan.
- Pernah berjalan kaki menempuh 8 km untuk mengajar les rivate karena tidak memiliki sepeser pun uang.
- Pernah berbagi roti dengan semut. Waktu itu pagi2 saya tiba di kampus setelah berjalan kaki tak kurang dari 7 km dari rumah. Tiba dikampus, kondisi sangat lapar saya melihat dan mengambil sebuah roti kelapa untuk segera menikmatinya. Ternyata sekumpulan semut sudah sedang berpesta di sekeliling roti. Sadar bahwa mereka juga ciptaan Tuhan, saya putuskan untuk membagi dua roti terrsebut, itulah modal mengganjal perut sepanjang kuliah.
- Yang paling tragis, saat sedang ujian kenaikan ke semester IV, bagai disambar petir di siang bolong saya diusir dari ruang kelas karena belum membayar uang kuliah.
- dan banyak lagi kisah getir nan pahit. Semoga kelak bisa kutuangkan disini.
Dalam keadaan lunglai dan mungkin 1/4 sadar, saya putuskan untuk berhenti sementara dari perkuliahan. Jadilah mahasiswa berprestasi bahkan dengan IP tertinggi semester sebelumnya harus putus kuliah oleh karena ketiadaan dana. Oh..kasihan diriku.
Kurang lebih 4 tahun macho (alias mangan co mangan) di Medan, status tak jelas. Kuliah tidak, kerja tidak dan tentu saja punya uang pun tidak.
Tahun 2009 yang lalu, oase muncul. Singkatnya seseorang WNI yang diberkati Tuhan yang saat ini tinggal di Swiss mendorong saya untuk kembali kuliah dengan mengirimkan uang kuliah setiap semesternya. Dan akhirnya saya tamat kuliah dengan predikat Sarjana Sosial, Jurusan Ilmu Pemerintahan.
Kini..
Saya belum jadi apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tahun 2014 yang lalu saya dinyatakan lulus menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Pemkab. Samosir. Maaf, maaf,, tentu hal ini belumlah apa-apa bagi orang lain. Akan tetapi dengan latar belakang keluarga dan pengalaman getir selama perkuliahan, ijinkan saya sedikit bangga tetapi lebih banyak bersyukur kepada Tuhan. Dengan status bapa dan mama saya yang sama sekali tidak tamat SD, saya sangat bersyukur bisa menjadi seorang Sarjana dan bekerja di instansi pemerintahan dalam negeri. Terima kasih Tuhan.
Visi dan Misiku
Melihat dan mengalami sendiri bagaimana menjadi seorang yang lahir miskin, saya rindu dipakai Tuhan untuk membuktikan kepedulian kepada mereka yang "bertakdir" miskin saat ini. Saya tidak ingin ada lagi yang seperti saya, andaipun masih tetap ada, saya rindu mengurangi jumlahnya. Karena itulah saya membuat "perjanjian" kepada Tuhan, bahwa saya akan melakukan sesuatu yang bisa bermafaat membantu mereka yang miskin dan sangat membutuhkan.
Bila diukur, nilai kepedulian ini pun tidak lah seberapa. Karena itulah saya pun tetap berdoa, kiranya muncul 1, 10, 100 atau bahkan 1000 orang lagi yang ber visi dan misi yang sama.
Inilah "secuil" misi yang saya lakukan. Klik disini
Inilah "secuil" misi yang saya lakukan. Klik disini
Semoga Tuhan Memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar.
(Pilih Profil Anonymos bila Anda tidak memiliki Blog)