“..Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme juga dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi..” (Ensiklopedia).
Pluralisme adalah paham yang mengajarkan kita menghargai perbedaan. Lebih lanjut lagi di ensiklopedia di catat bahwa semangat pluralism tidak hanya pada aspek tertentu saja. Karena dipercaya semangat pluralisme menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Kemungkinan selama ini kita banyak yang keliru, paling tidak sedikit melenceng dalam mengartikan semangat pluralisme. Kita mungkin mengira bahwa teori pluralisme hanya diperlukan dalam aspek toleransi antar umat beragama. Akan tetapi sebenarnya semangat pluralisme harus di rawat dan ditumbuhkembangkan dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat suatu Negara. Baik dalam bidang politik, ekomoni sampai pada perhimpunan-perhimpunan ilmiah.
Sebab Negara itu sendiri sudah dari awalnya adalah plural. Setiap Negara di dunia ini, di benua manapun, bagaimanapun sejarah berdirinya dan apa pun dasar negaranya pastilah di dalam masyarakatnya yang heterogen ditemukan banyak sekali perbedaan di antara masyarakat itu sendiri. Bukan hanya perbedaan agama dan keyakinan, latar belakang sosial, latar pendidikan, kebudayaan dan adat-istiadat.
Fakta yang tidak dapat ditolak oleh dalil manapun di alam jagad raya ini adalah bahwa seluruh masyarakat dalam suatu Negara yang pada dasarnya memiliki beragam perbedaan tersebut adalah individu-individu yang saling membutuhkan bahkan saling ketergantungan. Lebih dalam lagi, ketergantungan individu yang satu terhadap individu lainnya bukanlah ketergantungan sementara atau kontemporer. Melainkan bahwa sepanjang Negara itu ada, maka ketergantungan individu yang satu terhadap individu yang lain adalah mutlak dan absolut.
Kita Perlu belajar dari Sudan.
Sudan yang kini melakukan referendum adalah dampak dari Penolakan terhadap Pluralisme. Sebab jika kita merunut waktu ke belakang, perpecahan yang terjadi antara sudan Selatan dan Utara adalah akibat tindakan gegabah dan fatal yang dilakukan oleh Presiden Sudan Jaafar Nimeiri (1969-1985). Pada tahun 1983, Nimeiri tiba-tiba mencampakkan kesepakatan di Addis Ababa, Etiopia, tahun 1972 yang memberikan otonomi luas atas wilayah Sudan selatan. Padahal kesepakatan Addis Ababa berhasil mengakhiri perang saudara pertama di Sudan antara pemerintah pusat dan kelompok pemberontak selatan, Anyanya, periode 1955-1972.
Lanjutan dari kecerobohan seorang Presiden Jaafar Nimeiri adalah lahirnya Kongres Uni Sosialis Sudan tahun 1983 (partai yang berkuasa di Sudan saat itu), Nimeiri, secara mengejutkan, menegaskan akan menerapkan hukum syariah di seluruh Sudan dan akan melakukan gerakan Islamisasi serta arabisasi di seluruh aspek kehidupan negara itu. Tak perlu menghitung tahun Nimeiri selanjutnya mendeklarasikan secara resmi penerapan hukum syariah di seluruh Sudan. Rakyat Sudan selatan langsung menolak kebijakan Nimeiri. Pimpinan Sudan selatan juga mengungkit perlakuan tidak adil yang dialami Sudan selatan di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Tanda-tanda kehancuran pun pluralisme Sudan terlihat karena pada saat itu pula dideklarasikan pendirian Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) dengan sayap militer SPLA yang dipimpin John Garang. Berdirinya SPLM itu memicu lagi perang saudara Sudan mulai tahun 1983 hingga penandatanganan kesepakatan damai Nifasha, Kenya, tahun 2005.
Sekarang, dampak dari “pembonsaian” nilai-nilai pluralisme telah membawa sudah pada perang saudara yang harus di akhiri dengan pilihan referendum. Sebuah pilihan politik yang sebenarnya adalah pilihan terakhir bagi masyarakat suatu negara! Sebuah pilihan yang pasti diikuti dampak besar yang menyentuh sampai pada sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri. Referendum ini bukannya berjalan mulus. Buktinya korban tetap berjatuhan saat referendum dilaksanakan pada saat yang sama. Jadi jelaslah pengabaian nilai-nilai pluralisme telah meluluhlantahkan Sudan.
Indonesia bukanya tidak pernah tersambar oleh sebuah pilihan bernama referendum ini. Kita pasti masih ingat bahwa keluarnya Propinsi Timor Timur adalah karena pilihan referendum yang dilaksanakan kala itu. Faktanya, sebuah referendum telah memecah satu Negara menjadi dua. Dan andai saja kala itu nilai-nilai pluralisme terawatt dengan sehat di negeri ini, Timor-Timur akan tetap milik Indonesia. Banyak lagi Negara-negara di dunia ini yang harus pecah jika tak berlebihan dibilang hancur akibta lalainya pemerintah dan masyarakat memupuk, menyiram dan merawat Pluralisme yang adalah “malaikat pemersatu” ini.
Oleh karena itu, marilah merawat nilai-nilai pluralisme. Kita adalah bangsa yang besar dan beragam pula perbedaan di antara kita. Ketika ada tanda-tanda atau sinyal penghilangan nilai-nilai pluralisme, kita harus sama-sama menghadang. Pluralitas subur dengan menghormati asas universalitas, punya sikap keberagamaan, luhur, percaya mempercayai. Kita harus sadar bahwa pluralitas akan lenyap dikala ada upaya pemaksaan pada tataran pergaulan kehidupan bermasyarakat.
Juga Sosok Gusdur
Gusdur, Pejuang Pluralisme sejati Indonesia mengatakan bahwa dalam agama, kebudayaan dan demokrasi Pluralisme adalah sebuah KENISCAYAAN. Bahkan Pluralisme manurut mantan bapak bangsa/Presiden ini adalah sebagai sebuah rumah. Rumah dengan banyak kamar yang setiap kamar dihuni oleh sebuah agama. Demi keutuhan rumah itu, masing-masing penghuni kamar haruslah saling menghormati dan menghargai tanpa satu pihak yang merasa berhak atas kebenaran kepemilikan rumah tersebut.
Gus Dur telah menyediakan dirinya tidak hanya sebagai figur atau representasi tokoh Islam yang memiliki kesanggupan untuk berinteraksi dengan kalangan agama yang berbeda. Dan kalau kita amati, adakah ini kita temukan pada tokoh-tokoh elite bangsa ini? Cucu dan pendiri Nahdatul Ulama ini memahani bahwa Pergaulan personal inilah yang mencairkan berbagai kebekuan dalam interaksi wacana yang terjadi dalam suatu Negara. Gusdur telah mengubah mengubah orientasi elitis menjadi populis.
Akhirnya pemerintah dan kita semua harus mencoba membayangkan betapi ngerinya dampak yang terjadi puada suatu Negara bila nilai-nilai Pluralisme abai dari karakter bangsa kita, sekaligus bermimpi lahirnya pemimpin-pemimpin bangsa seperti Gusdur. Mari kita bersama-sama merawat Pluralisme. Sebab pluralisema adalah “malaikat pemersatu” bangsa. Bangsa Indonesia yang Pluralis!!
*Penulis adalah pemerhati sosial, politik dan ketatanegaraan Indonesia. Ketua Biro Pemuda GPI Kota Medan Sekitarnya
Kemungkinan selama ini kita banyak yang keliru, paling tidak sedikit melenceng dalam mengartikan semangat pluralisme. Kita mungkin mengira bahwa teori pluralisme hanya diperlukan dalam aspek toleransi antar umat beragama. Akan tetapi sebenarnya semangat pluralisme harus di rawat dan ditumbuhkembangkan dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat suatu Negara. Baik dalam bidang politik, ekomoni sampai pada perhimpunan-perhimpunan ilmiah.
Sebab Negara itu sendiri sudah dari awalnya adalah plural. Setiap Negara di dunia ini, di benua manapun, bagaimanapun sejarah berdirinya dan apa pun dasar negaranya pastilah di dalam masyarakatnya yang heterogen ditemukan banyak sekali perbedaan di antara masyarakat itu sendiri. Bukan hanya perbedaan agama dan keyakinan, latar belakang sosial, latar pendidikan, kebudayaan dan adat-istiadat.
Fakta yang tidak dapat ditolak oleh dalil manapun di alam jagad raya ini adalah bahwa seluruh masyarakat dalam suatu Negara yang pada dasarnya memiliki beragam perbedaan tersebut adalah individu-individu yang saling membutuhkan bahkan saling ketergantungan. Lebih dalam lagi, ketergantungan individu yang satu terhadap individu lainnya bukanlah ketergantungan sementara atau kontemporer. Melainkan bahwa sepanjang Negara itu ada, maka ketergantungan individu yang satu terhadap individu yang lain adalah mutlak dan absolut.
Kita Perlu belajar dari Sudan.
Sudan yang kini melakukan referendum adalah dampak dari Penolakan terhadap Pluralisme. Sebab jika kita merunut waktu ke belakang, perpecahan yang terjadi antara sudan Selatan dan Utara adalah akibat tindakan gegabah dan fatal yang dilakukan oleh Presiden Sudan Jaafar Nimeiri (1969-1985). Pada tahun 1983, Nimeiri tiba-tiba mencampakkan kesepakatan di Addis Ababa, Etiopia, tahun 1972 yang memberikan otonomi luas atas wilayah Sudan selatan. Padahal kesepakatan Addis Ababa berhasil mengakhiri perang saudara pertama di Sudan antara pemerintah pusat dan kelompok pemberontak selatan, Anyanya, periode 1955-1972.
Lanjutan dari kecerobohan seorang Presiden Jaafar Nimeiri adalah lahirnya Kongres Uni Sosialis Sudan tahun 1983 (partai yang berkuasa di Sudan saat itu), Nimeiri, secara mengejutkan, menegaskan akan menerapkan hukum syariah di seluruh Sudan dan akan melakukan gerakan Islamisasi serta arabisasi di seluruh aspek kehidupan negara itu. Tak perlu menghitung tahun Nimeiri selanjutnya mendeklarasikan secara resmi penerapan hukum syariah di seluruh Sudan. Rakyat Sudan selatan langsung menolak kebijakan Nimeiri. Pimpinan Sudan selatan juga mengungkit perlakuan tidak adil yang dialami Sudan selatan di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Tanda-tanda kehancuran pun pluralisme Sudan terlihat karena pada saat itu pula dideklarasikan pendirian Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) dengan sayap militer SPLA yang dipimpin John Garang. Berdirinya SPLM itu memicu lagi perang saudara Sudan mulai tahun 1983 hingga penandatanganan kesepakatan damai Nifasha, Kenya, tahun 2005.
Sekarang, dampak dari “pembonsaian” nilai-nilai pluralisme telah membawa sudah pada perang saudara yang harus di akhiri dengan pilihan referendum. Sebuah pilihan politik yang sebenarnya adalah pilihan terakhir bagi masyarakat suatu negara! Sebuah pilihan yang pasti diikuti dampak besar yang menyentuh sampai pada sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri. Referendum ini bukannya berjalan mulus. Buktinya korban tetap berjatuhan saat referendum dilaksanakan pada saat yang sama. Jadi jelaslah pengabaian nilai-nilai pluralisme telah meluluhlantahkan Sudan.
Indonesia bukanya tidak pernah tersambar oleh sebuah pilihan bernama referendum ini. Kita pasti masih ingat bahwa keluarnya Propinsi Timor Timur adalah karena pilihan referendum yang dilaksanakan kala itu. Faktanya, sebuah referendum telah memecah satu Negara menjadi dua. Dan andai saja kala itu nilai-nilai pluralisme terawatt dengan sehat di negeri ini, Timor-Timur akan tetap milik Indonesia. Banyak lagi Negara-negara di dunia ini yang harus pecah jika tak berlebihan dibilang hancur akibta lalainya pemerintah dan masyarakat memupuk, menyiram dan merawat Pluralisme yang adalah “malaikat pemersatu” ini.
Oleh karena itu, marilah merawat nilai-nilai pluralisme. Kita adalah bangsa yang besar dan beragam pula perbedaan di antara kita. Ketika ada tanda-tanda atau sinyal penghilangan nilai-nilai pluralisme, kita harus sama-sama menghadang. Pluralitas subur dengan menghormati asas universalitas, punya sikap keberagamaan, luhur, percaya mempercayai. Kita harus sadar bahwa pluralitas akan lenyap dikala ada upaya pemaksaan pada tataran pergaulan kehidupan bermasyarakat.
Juga Sosok Gusdur
Gusdur, Pejuang Pluralisme sejati Indonesia mengatakan bahwa dalam agama, kebudayaan dan demokrasi Pluralisme adalah sebuah KENISCAYAAN. Bahkan Pluralisme manurut mantan bapak bangsa/Presiden ini adalah sebagai sebuah rumah. Rumah dengan banyak kamar yang setiap kamar dihuni oleh sebuah agama. Demi keutuhan rumah itu, masing-masing penghuni kamar haruslah saling menghormati dan menghargai tanpa satu pihak yang merasa berhak atas kebenaran kepemilikan rumah tersebut.
Gus Dur telah menyediakan dirinya tidak hanya sebagai figur atau representasi tokoh Islam yang memiliki kesanggupan untuk berinteraksi dengan kalangan agama yang berbeda. Dan kalau kita amati, adakah ini kita temukan pada tokoh-tokoh elite bangsa ini? Cucu dan pendiri Nahdatul Ulama ini memahani bahwa Pergaulan personal inilah yang mencairkan berbagai kebekuan dalam interaksi wacana yang terjadi dalam suatu Negara. Gusdur telah mengubah mengubah orientasi elitis menjadi populis.
Akhirnya pemerintah dan kita semua harus mencoba membayangkan betapi ngerinya dampak yang terjadi puada suatu Negara bila nilai-nilai Pluralisme abai dari karakter bangsa kita, sekaligus bermimpi lahirnya pemimpin-pemimpin bangsa seperti Gusdur. Mari kita bersama-sama merawat Pluralisme. Sebab pluralisema adalah “malaikat pemersatu” bangsa. Bangsa Indonesia yang Pluralis!!
*Penulis adalah pemerhati sosial, politik dan ketatanegaraan Indonesia. Ketua Biro Pemuda GPI Kota Medan Sekitarnya
jadi rindu sosok seperti gusdur, yang bisa diterima oleh segala golongan
BalasHapusYap, pluralisme memang perlu untuk dipertahankan... :)
BalasHapusBudies: iya benar nih..
BalasHapusbebek: mari sama2..
selamat siang disini,
BalasHapusmemang benar kita kadang melenceng mengartikan dan kurang perhatian terhadap pluralisme .
sip setuju mari kita merawat nilai2 pluralisme.
Nilai-nilai Pluralisme memang satu hal yang "wajib" dihayati, bukan hanya dijadikan wacana. Pluralisme merupakan ajaran agama dan banyak negara yang memasukkannya dalam nilai-nilai ideologi, termasuk Indonesia.
BalasHapusHal yang perlu ditekankan hanyalah tidak sampai terjadinya tumpang tindih nilai-nilai aqidah yang tidak seharusnya dengan alasan pluralisme :D
Hi Laston! Thank you so much for your comment on my blog. You must be a VERY EDUCATED man. I enjoy reading your posts, but a lot of it is "way over my head" and I don't understand. I still enjoy reading it though, I wish I could come to your country, maybe I would understand a lot better.
BalasHapusAs far as praise goes, I think that in the "natural" world praise is one of the most important things a person can give another, next to love of course. Love being the most important. It's just that praise or no praise has a lot to do with what kind of person we grow into from childhood on up. Negativity produces low self-esteem where as praise and positivity produces confidence, and high-self esteem and therefore successful adults. Praise to God is required by Him for a successful relationship with Him. I don't see how anyone could NOT praise Him knowing what sacrifice He made for us. He didn't have to come down from heaven, become flesh and go through all of the human problems, betrayal, scoffing, and mocking, but He did it for us. He died taking on ALL of the sins of the World so that we could join Him in Heaven, how can we be non-chalant and not praise Him? And yet there are people that don't. Well, I didn't mean to write a book, I loved your comment (once I figured out how to translate it to English! Haha! Something funny- google translated your whole comment EXCEPT for the last little part where you said something and laughed. Don't know why that didn't get translated. God Bless, God be with you, be safe. Our country is in need of prayer. Please pray that our leaders will change their hearts and starting trying to do the will of God, instead of the will of man. Thank you, and again, God Bless,
PJ
seharusnya banyak perbedaan itulah yang bisa menjadi pemersatu.. karena makin banyak bedanya, makin beragam, makin terbuka toleransi dan pemikiran kita..
BalasHapusdulu jamannya Gus Dur memang toleransi seperti itu sangat dibebaskan, asal jangan kelewatan aja sih
Google Translate is not the best way to translate a page and sometime your posts seems very interesting... but I don't understand all.
BalasHapusAnyway, keep blogging ;)
Oh.. Thanks Mr Robert. And you know, i found a web translater. http://www.indotranslate.com/
BalasHapusngomongin soal pluralisme kayak gini, jadi inget Almarhum Gus Dur yaaa
BalasHapus